Penguasaan Teknologi Informasi merupakan kecakapan yang harus dimiliki oleh peserta didik selain kecakapan pengetahuan, keterampilan dan sikap. Untuk membantu mereka menguasai kecakapan tersebut guru harus dapat mengembangkan model pembelajaran berbasis teknologi mulai dari merencanakan, melaksanakan, menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik kompetensi dan materi pembelajaran melalui multimedia.
Model pembelajaran berbasis teknologi yang diterapkan harus dapat menciptakan interaksi dan komunikasi multi arah. Seperti yang diungkapkan Zainal Arifin dalam bukunya tentang Pengembangan Pembelajaran Aktif (2012) tujuan utama pembelajaran dengan teknologi informasi dan komunikasi adalah membuat siswa dapat terlibat aktif dan merasa tertarik dan hal ini tergantung bagaimana guru mengemasnya.
Kecanggihan teknologi Informasi saat ini sangat mempengaruhi kehidupan anak-anak. Banyak orang tua yang mengeluh dengan anak-anaknya yang semakin lama semakin sulit diatur. Mereka setiap hari hanya memegang smartphone mulai dari bangun sampai tidur kembali padahal anak-anak diusia pertumbuhan seharusnya banyak bergerak.
Anak-anak susah disuruh belajar, mandi, makan apalagi beres-beres rumah jika mereka sudah memegang ponsel. Dengan situasi ini sebagian orang tua berkesimpulan bahwa ponsel itu sangat buruk pengaruhnya pada kehidupan anak-anak sehingga mereka ada yang tidak memberikan anak-anaknya perangkat ini. Bahkan beberapa sekolahpun melarang para siswanya untuk membawa ponsel ke sekolah. Kebijakan pihak sekolah bukan tanpa alasan mereka khawatir jika anak-anak membawa ponsel ke sekolah mereka akan sibuk dengan gadgetnya, baik digunakan untuk main game, media sosial ataupun untuk berfoto-foto selfie yang tentunya akan berpengaruh pada kegiatan belajar.
Pengguna aktifsmart phone di Indonesia pada tahun 2014 mencapai 4,7 juta, dan 79,5% merupakan anak-anak dan remaja (https://m.liputan6.com/health/read). Jika kita membiarkan anak-anak sibuk dengan perangkat ini tanpa mengarahkannya maka dikhawatirkan lama-lama kecerdasan mereka akan berkurang seperti yang (konon) dikatakan Albert Einstein : "I fear the day that technology will surpass our human interaction. The world will have a generation of idiots". Terlepas quote ini benar atau hoax tapi memang kehawatiran ini semakin lama semakin besar dirasakan oleh kita semua. Sudah saatnya pemakaian smart phone harus dikontrol secara ketat oleh orang tua maupun guru. Saat di rumah orang tua harus selalu mengawasi anak-anaknya dalam mengakses situs-situs di dunia maya, orang tua harus cerdas pula dalam pengoperasian smartphone anak-anaknya. Di Indonesia banyak kalangan orang tua yang hanya membelikan saja tanpa mereka tahu untuk apa saja anak-anak menggunakan ponselnya, alasannya mereka tidak bisa membuka dan tidak mengerti cara mengoperasikannya. Bagi kalangan gurupun sebetulnya tidak perlu terlalu khawatir terhadap pemakaian smartphone di sekolah asalkan mereka dapat mengarahkan siswanya untuk pemakaian pada kegiatan belajar mengajar secara maksimal.
Banyak kegiatan pembelajaran yang bisa dilakukan dengan menggunakan perangkat smartphone ini. Guru dapat memadukan pembelajaran manual dan penggunaan aplikasi e-Learning sehingga siswa tidak akan 'dipaksa' untuk meninggalkan kebiasaannya bermain ponsel, selain itu sedikit demi sedikit kita mengurangi pemakaian pen and paper. Sebaiknya siswa Sekolah Dasar di kelas atas yang sudah mulai diajak memanfaatkan aplikasi yang ada dalam play store dan mengunduhnya dalam smartphone karena seusia mereka dianggap sudah cukup mengerti.
Aplikasi media sosial yang sekarang menjadi trenddi semua kalangan adalah WhatsApp (WA). Aplikasi ini bisa dijalankan pada platform apple IOS, Blackberry, Android, Symbian, Nokia series 40, dan Windows Phone (mango). Untuk menambahkan teman dalam WhatsApp hanya memerlukan nomor HandPhone saja. (https://id.m.wikipedia.org>wiki?whatsapp)Melalui WhatsApp orang bebas membentuk kelompok yang disesuaikan dengan kebutuhan; baik untuk keperluan berdiskusi, berbagi informasi maupun sekedar curhat.
Tidak ada salahnya guru juga mencoba menerapkan aplikasi WhatsApp untuk proses pembelajaran. Dengan WhatsApp guru bisa membuat kelompok diskusi di kelas virtual. Kelompok Diskusi merupakan bentuk masyarakat belajar (learning community) yang merupakan komponen dari model pembelajaran Contextual Teaching Learning.
Dalam buku Model Pembelajaran Terpadu dalam Teori dan Praktek (Trianto, 2007) disebutkan bahwa dalam CTL siswa belajar melalui kegiatan kelompok, berdiskusi dan berbagi dan pembelajaran bisa terjadi dimana saja dalam konteks dan setting yang berbeda sesuai kebutuhan. Sedangkan I Nyoman Parahita mengatakan bahwa Learning community memiliki kelebihan-kelebihan yaitu senantiasa mendorong terjadinya proses komunikasi multi arah dan hasilnya lebih baik daripada belajar sendiri karena terjadinya pertukaran informasi.
Membentuk kelompok diskusi di kelas virtual (e-Learning Community) membantu anak yang tidak berani bertanya, tidak berani mengeluarkan pendapat dan tidak punya kepercayaan diri untuk berbicara di depan kelas bisa mengemukakan gagasan atau pendapat dan mengajukan pertanyaan. Apalagi masa sekarang ini rasanya agak sulit menugaskan siswa untuk belajar berkelompok di luar sekolah dengan alasan rumah berjauhan, tidak banyak waktu karena harus berbagi dengan kegiatan di luar sekolah (les/kursus), terlebih lagi banyak orang tua yang khawatir akan keselamatan anak-anaknya jika harus bepergian ke rumah temannya.
Untuk memulai menarapkan model e-learning community , guru membuat tiga jenis grup WhtsApp yaitu grup SG, LG dan BC. Grup SG (Small Group) merupakan grup kelompok-kelompok kecil dalam kelas yang terdiri dari 4 orang. Setiap ketua kelompok tergabung dalam grup LG (Leader Group) dan terakhir grup BC (Big Class) yang merupakan forum beranggotakan semua siswa dalam kelas.
Berikut ini cara membuat grup: pertama buka aplikasi WhatsApp, lalu klik Grup baru, tambahkan satu atau beberapa peserta yang sudah tersimpan dalam buku telepon, klik tanda panah hijau, ketik nama grup, klik tanda centang. Kalau akan menambahkan anggota baru: buka grup WA yang telah dibuat, klik info grup, dan klik tambahkan peserta. Dalam menambahkan peserta baru ada dua acara yaitu bisa mengklik kontak yg sudah ada atau klik undang tautan.Jika guru belum menyimpan nomor telepon para siswanya, bisa mengklik kirim tautan via WhatsApp, salin tautan,atau bagikan tautan. Mengirim tautan grup WA bisa lewat pesan, email, facebook, Edmodo, dan lain-lain.
Ketika guru mulai menugaskan siswa untuk berdiskusi, guru memposting satu soal/materi bahasan ke WA LG. Lalu setiap ketua kelompok membawa materi tersebut dalam WA SG. Dalam WA SG masing-masing anggota memberi gagasan, komentar dan pendapat untuk menyelesaikan masalah yang mereka bahas. Setelah masing-masing kelompok menemukan solusi masalah, para ketua melaporkannya dalam WA LG.
Dari 8 kelompok dipilih satu kelompok yang memiliki solusi/jawaban paling bagus, kemudian ketua kelompok memposting solusi/jawaban dalam WA BC. Seperti halnya diskusi dalam kelas nyata, diskusi dalam kelas virtual/WhatsApp juga ada tanya jawab.
Dalam WA BC setiap kelompok menunjuk satu orang anggotanya untuk bertanya, menambahkan atau menyanggah paparan dari kelompok yang memposting uraian mereka. Para anggota kelompok menjawab setiap pertanyaan yang diajukan oleh penanya. Setelah diskusi dirasa cukup maka guru memberi arahan kepada semua siswa tentang penyelesaian masalah yang dibahas. Langkah terakhir guru dan siswa melakukan refleksi tentang materi yang sudah dibahas.
Berikut ini gambar bagan grup Whatsapp dalam kelas virtual berjumlah 32 siswa:
- Small Group (SG); terdiri dari grup yang beranggotakan 4 siswa.
- Grup LG ; terdiri dari satu grup yang anggotanya merupakan ketua kelompok
- Grup BC; merupakan forum diskusi dalam satu kelas dimana semua siswa tergabung dalam grup WhatsApp ini.
Alur diskusi lewat WhatsApp
Agar diskusi dapat efektif dengan waktu yang tidak terlalu lama dan tidak mengganggu tugas-tugas lainnya, guru dan siswa membuat suatu kesepakatan dalam menentukan waktu. Satu minggu merupakan waktu yang cukup sesuai untuk melakukan diskusi, karena kalau terlalu lama terkadang siswa melupakannya.
Masing-masing ketua kelompok bertanggung jawab untuk mengerahkan semua anggota kelompoknya untuk berperan serta dalam diskusi. Jika ada anggota yang tidak ikut berdiskusi maka skor kelompok tersebut dikurangi. Sebaliknya jika semua anggota kelompok tersebut sangat aktif dan dapat memberikan solusi yang terbaik, maka skor kelompok akan bertambah. Penilaian kelompok dilihat dari keaktifan anggota dalam berdiskusi, ungkapan dalam menyampaikan ide, dan efektifitas waktu menyelesaikan suatu masalah.
Jika guru bisa maksimal memanfaatkan smart phone untuk diskusi kelompok dengan WhatsApp, maka semua siswa akan aktif pula dalam kegiatan diskusinya karena mereka bisa menuangkan ide, pendapat dan gagasannya melalui smartphone yang menjadi salah satu benda favoritnya. Harus diingat saat guru akan mengajak para siswanya memakai smartphone dalam pembelajaran, guru harus mensosialisasikan hal ini terlebih dahulu dengan orang tua sehingga orang tua mengetahuinya. Jika guru dan orangtua dapat membantu para siswa untuk memanfaatkan smart phone dalam pembelajaran khususnya untuk belajar berdiskusi lewat aplikasi WhatsApp maka e-Community Learning dapat tercipta sehingga diharapkan mereka semakin mampu berdiskusi dengan baik dan kekhawatiran munculnya "idiot generations" tidak akan terbukt


